Selasa, 22 Mei 2012

Menyoal Subsidi pada Industri Peternakan

Pada satu waktu di 10 tahun yang lalu, ketika saya sedang menjalani pendidikan master pada ps. ilmu ekonomi pertanian di Bogor, saya merasa sangat gembira dan bangga. Setelah mengikuti perkuliahan terakhir pada mk. perdagangan internasional yang penuh dengan cacing kalkulus dan keindahan liuk lekuk kurva perdagangan global (yang gampang bikin orang terpanjat dan terperana), saya akhirnya dapat mengerti tentang arti  subsidi (negara). Saya jadi paham kenapa di dalam ilmu ekonomi moderen (Neoklasikal + Keynesian), subsidi merupakan salah satu mahluk yang dapat menyebabkan distorsi pasar karena terjadi kuasi efisiensi produksi.

Sekedar merefresh materi yang telah lama tidak lagi ditekuni, saya mencoba mengingat kembali pemahaman mengenai subsidi, terutama yang berkaitan dengan sektor peternakan. Supaya praktis, saya ambil dulu definisi yang disediakan oleh prof. Wiki : An agricultural subsidy is a governmental subsidy paid to farmers and agribusinesses to supplement their income, manage the supply of agricultural commodities, and influence the cost and supply of such commodities. Ada 3 kata kunci dari definsi ini: income, supply, cost. Jadi mungkin prinsipnya, subsidi membayar sebagian cost produksi petani, sehingga menyebabkan supply barang lebih banyak, jual lebih banyak, income petani lebih besar, atau pun sustain.

Persoalan muncul di pasar global barang pertanian. Ditengarai, harga-harga yang terbentuk di pasar tersebut tidak berasal dari mekanisme supply-demand yang sebenarnya, terutama sisi supply. Ditengarai, sejalan dengan meningkatnya demand dari negara-negara berpopulasi besar, pasar sebenarnya mengalami over-supply barang pertanian dari negara-negara kaya. Ketika pasar sudah penuh dengan pedagang dan barang, maka kecil peluangnya bagi negara-negara lain untuk ikut berdagang barang yang sama di pasar tersebut. Padahal, seringkali barang tersebut merupakan satu-satunya yang dapat diproduksi oleh masyaratkat negara non-kaya. Ditengarai, penyebabnya adalah subsidi per-subsidi-an.

Muncullah WTO. Berperan sebagai polisi perdagangan global. Beranggotakan hampir seluruh negara, tapi dikuasai oleh beberapa negara kaya. Disusunlah seperangkat regulasi dan tools untuk mengeliminasi subsidi (dan teman-teman lainnya). Disimulasikannlah mekanisme dan metode untuk mengurangi dampak subsidi (dan teman-teman lainnya). Namun begitu, WTO ya tinggal WTO. Peti-peti anti distorsi / subsidi - amber, blue, green box - sudah penuh dengan konsep-konsep pengurangan subsidi tanpa dilihat lagi. Hasil pekerjaan WTO cs dapat dilihat pada gambar di bawah ini.




Coba kita lihat industri persusuan global. Kita lihat AS (lagi-lagi AS). Sampai dengan tahun 2010, AS memiliki populasi sapi perah sebesar sekitar 9,2 juta ekor, dengan jumlah peternak sebanyak sekitar 65 ribu peternak. Berdasarkan EWG, jumlah subsidi yang diberikan pada peternak AS mendekati 1,2 miliar dollar. Artinya, subsidi $ 130,5 per ekor per tahun. Uni Eropa lebih hebat lagi. Tahun 2011 tercatat 23 juta ekor di 27 negara Uni Eropa, dengan besar subsidi lebih dari 5 miliar dollar. Artinya, subsidi $ 217 per ekor per tahun. Jika dirupiahkan (kurs 10 ribu) maka subsidi AS adalah 1,3 juta per ekor per tahun, dan UE sebesar 2,1 juta per ekor per tahun.
Dengan subsidi tersebut, ongkos produksi tidak menjadi persoalan. Maka tidak heran, AS dan UE dapat dengan mudah masuk dan berkompetisi di pasar global. Pangsa masing-masing di pasar global adalah 32% dan 54%, sisanya diperebutkan terutama oleh Australia, Selandia Baru dan Argentina (FYI: ke tiga negara ini hampir tidak memberikan subsidi pada sektor sapi perahnya).

Ada sebuah penelitian yang dilakukan oleh ActionAid yang menunjukkan bahwa sebenarnya khususnya produsen UE menjual produk dibawah biaya produksinya, bahkan sebenarnya sektor sapi perahnya tidak lagi feasible tanpa adanya subsidi. Benarkah? Berarti seharusnya industri sapi perah kita sangat kompetitif. Kita belum pernah mendengar adanya subsidi yang diberikan oleh pemerintah industri sapi perah kita. Ada sih, dalam bentuk pembelian bibit, alsin atau pun pelatihan. Tapi tampaknya nilainya cukup kecil. Tapi jikapun kita mau mensubsidi  (ceritanya mau melawan pasar global), mari hitung-hitungan sedikit. Sapi perah nasional berjumlah sekitar 495 ribu ekor. Total anggaran Ditjen Peternakan tahun 2011 adalah 2,2 triliun (tapi anggaran Ditjennak biasanya di bawah 1 triliun pada tahun-tahun sebelumnya). Jika kita bagikan seluruhnya pada sapi perah yang kita miliki (yang tampaknya tidak mungkin terjadi), maka kita dapatkan angka $ 444 per ekor per tahun, sekitar 4 juta rupiah. Hmm... peminat masuk ke Fak. Peternakan mungkin akan melonjak drastis.

Bersambung.






Minggu, 20 Mei 2012

Kontroversi "Pink Slime" di industri daging sapi AS

Wikipedia mendifinisikan pink slime sebagai berikut :  beef-based food additive that may be added to ground beef and beef-based processed meats as an inexpensive filler. It consists of finely ground beef scraps, sinew, fat, and connective tissue, which have been mechanically removed in a heated centrifuge at 100°F (38°C) from the fat into liquid fat and a protein paste. The recovered material is then processed, heated, and treated with ammonia gas or citric acid to kill E. coli, salmonella, and other bacteria. It is finely ground, compressed into blocks, and flash frozen for use as an additive to beef products. Ini juga dikenal dengan nama lean finely textured beef (LFTB) dan boneless lean beef trimmings (BLBT). 

Sumber: AFA Food
Lalu apa yang menjadi kontroversi? Pink slime tersebut, pada prinsipnya, merupakan daging olahan yang dibuat dari campuran daging sapi (meat) dan jeroan (edible offal) yang telah diberi perlakuan amonia sebagai antibakteri. Produksi LFTB dan BLBT dimaksudkan untuk menurunkan harga ritel daging di pasar AS.

Pangkal kontroversi ada pada penggunaan jeroan. Setelah selama 10 tahun dilegalkan oleh USDA, saat ini konsumen AS baru menyadari adanya penggunaan jeroan (dan lainnya) tersebut. Seperti yang dimuat pada blog Thurman, konsumen AS menganggap jeroan sebagai makanan anjing dan kucing. Mereka tidak rela jika daging yang dikonsumsi memiliki kualitas yang tidak jauh berbeda dengan makanan binatang peliharaannya.

Haruskah kita tersenyum? Saya pribadi tersenyum, karena jeroan merupakan menu favorit saya. Namun bagi industri daging sapi AS, ini bencana. Dalam waktu sebulan (Februari-Maret 2012), telah 4 manufaktur pengolahan daging di AS menghentikan produksinya. Sekitar 1000 tenaga kerja diberhentikan. Hingga Kongres AS secara sengaja melakukan penelitian mendalam mengenai daging olahan ini.

Sebuah pesan yang dapat ditangkap adalah the power of consumer and media. Produk peternakan erat kaitannya dengan kepuasan konsumen. Konsumen erat kaitannya dengan media massa. Dengan kata lain, produk peternakan merupakan sesuatu yang rigid.


Skema Kesrawan Australia untuk Indonesia

Februari lalu, berkaitan dengan dibukanya kembali ekspor sapi potong ke Indonesia, Departemen Pertanian Australia meluncurkan sebuah skema rantai pasok sapi potong yang dikenal dengan nama Export Supply Chain Assurance System. Pada prinsipnya, skema ini bermaksud untuk memastikan ternak yang mereka pasok ke Indonesia diperlakukan secara berkeperihewanan. Instrumen penting yang terdapat di dalam skema ini adalah keharusan terdapatnya petugas khusus Kesrawan di semua rumah pemotongan hewan di Indonesia, serta diberlakukannya sistem audit pemotongan hewan yang intensif.

Kita semua tentunya setuju dengan penerapan Kesrawan di Indonesia. Pada dasarnya, agama Islam pun telah menyediakan rambu-rambu yang harus dipatuhi oleh kita dalam memperlakukan hewan. Namun pada konteks ini, saya lebih tertarik pada keseriusan Australia mengamankan akses pada pasar terbesarnya, yaitu Indonesia. Larangan ekspor ke Indonesia pada faktanya telah mengguncang industri peternakan Australia. Seperti yang dimuat oleh Sydney Morning Herald, kerugian yang dialami oleh industri mencapai lebih dari $ 320 juta selama larangan ekspor tersebut berlaku. Itu kerugian yang bisa dihitung. Yang tidak dapat dihitung adalah penurunan harga pasar sapi potong dan daging sapi dalam negeri mereka. Hukum supply-demand berlaku efektif. Ketika pasokan domestik secara tiba-tiba meningkat drastis, sementara permintaan domestiknya tetap, maka harga ekuilibrium terdorong ke bawah. Mimpi buruk bagi perekonomian suatu negara.

http://www.abc.net.au/
Apa yang kemudian dilakukan oleh Australia? Jika saya menjadi petinggi Deptan Australia, yang sejatinya mengeluarkan larangan ekspor tersebut, tentunya saya akan banyak beristighfar. Pada satu sisi, saya harus konsisten dengan kebijakan yang saya terapkan, namun pada sisi lain, saya harus melindungi peternak-peternak domestik. Jika saya cabut larangan tersebut begitu saja, tentunya saya pabalik letah (versi Sunda), atau menjilat ludah sendiri. Jika tidak dicabut, industri sapi potong terancam kolaps.

Jawabannya adalah skema Kesrawan. Luar biasa. Padahal jika kita pikirkan lebih jauh, Australia yang lebih berkepentingan terhadap kita. Kita adalah pembeli, mereka adalah penjual. Pembeli adalah raja, penjual adalah punggawa. Namun dengan posisi tawarnya, punggawa mampu memaksa raja untuk menerima skema yang diberikan oleh sang punggawa (meskipun saya juga sangat setuju pada skema sang punggawa tersebut).

Mungkin bagi Australia, kasus di atas merupakan sebuah definisi nyata (bukan abstrak, bukan jargon) bagi terminologi "perlindungan negara bagi peternak domestik". So, bagaimana dengan perlindungan yang diberikan bagi peternak-peternak di kerajaan berlambang Garuda ini? Saya harap saya dan anda pada satu saat mampu melakukan hal yang serupa dengan rekan-rekan punggawa di Australia tersebut. Semoga.